Ngentot Seseorang Pendidik
Namaku Darin, aku bekerja di salah satu sekolah swasta di kotaku. Sebagai seorang guru, aku dituntut selalu tampil “baik” di sekolah ataupun di lingkungan hidupku. Aku yang dibesarkan di tengah keluarga yang ketat soal aturan agama, membuatku terlihat seperti “wanita baik” pada umumnya. Namun, ada yang tidak diketahui orang dari diriku, termasuk kedua orang tuaku. Aku adalah salah satu wanita yang memiliki nafsu seks yang tinggi atau biasa di sebut hyper seksual.
Meski gairah seksku tinggi, namun sampai saat umurku menginjak 25tahun, aku belum pernah sama sekali merasakan yang namanya bersetubuh karena memang aku tidak berani. Selain juga karena lingkunganku yang agamis sehingga tabu bagiku untuk membahas seks dengan orang lain.
Sehari-hari, aku mengajar di salah satu SMA di kotaku. Seperti umumnya sekolah lain di masa pandemi ini, aku mengajar melalui daring atau online. Di masa pandemi kali ini, tiap hari aku dituntut untuk membuat video pembelajaran yang nantinya akan di share ke murid-murid. Aku biasa membuatnya pada malam hari. Saat membuat video pembelajaran, aku terbiasa menggunakan kaos lengan pendek atau daster lengan pendek yang aku tutupi dengan kerudung lebar.
Malam itu, aku masih ingat, ketika hari Sabtu, meski weekend, aku menyempatkan diri membuat video pembelajaran agar tugasku tidak semakin menumpuk. Aku memakai daster biru lengan pendek dan jilbab lebar warna senada. Entah pikiran dari mana, tiba-tiba terlintas ide untuk membuat video tanpa menggunakan bra. “Toh nggak akan ada yang tau juga”
Dengan hati yang deg-degan dan nafsu yang memuncak, aku berhasil menyelesaikan dua video pembelajaran. Tentu saja, di video itu tidak terlihat jika aku tidak mengenakan bra.
Karena suasana rumah yang sepi karena orang rumah sedang pergi ke luar kota, membuatku semakin tidak bisa berpikir sehat. Aku yang memang memiliki ketertarikan dengan dunia eksibionis pun berencana mewujudkan salah satu keinginan eksibku yang selau saja tertunda.
Ku lihat jam pukul 23.00 ketika aku selesai berganti jilbab, dari jilbab lebar menjadi jilbab segiempat yang aku lilitkan ke belakang. Dengan daster tipis dan outer rajut serta jilbab yang tidak menutupi toketku, aku mulai berjalan ke depan rumah. Ku lihat suasana sepi, di depan pagar rumah, aku segera membuka resleting dasterku dan mengeluarkan toketku.
Ckriik.. Aku mengambil beberapa foto dengan pose menantang di depan rumah. Sampai ku lihat, ada cahaya dari lampu sepeda motor sehingga aku langsung saja memasukkan toketku dan menurunkan jilbabku tanpa sempat mengancingkan dasterku. Aku kemudian dg terburu-buru masuk ke rumah.
Hari berganti. Setelah pengalamanku eksib pertama kali itu berhasil. Aku sekarang lebih sering melakukannya. Biasanya setiap malam, aku akan keluar tanpa menggunakan bra dengan kancing daster yang terbuka dan jilbab yang menutupi toketku. Meski tertutup, bila dilihat dengan jeli, toketku jelas membayang dibalik jilbab tipis ini. Sekarang, meski ada suara deru sepeda motor aku tidak lagi lari ke dalam rumah. Aku justru duduk di teras, pura-pura memainkan hp sambil mengangkangkan kakiku lebih lebar lagi. Beberapa dari mereka melotot melihat pemandangan tersebut. Sementara, aku diam-diam tersenyum karena melihat reaksi lelaki-lelaki ini.
Sudah dua minggu pembelajaran daring ini dilakukan. Aku mencatat beberapa nama siswa yang sama sekali tidak mengerjakan tugas. Besoknya, aku memberikan teguran kepada mereka di grup kelas masing-masing sehingga akan menjadikan jera untuk dia dan teman-teman yang lainnya. Niat baik itu ternyata tidak disambut dengan baik pula. Jefri, salah satu muridku yang memang terkenal nakal justru merasa dipermalukan. Karena sikapnya yang keterlaluan, aku pun memanggilnya ke sekolah dengan niatan memberikan teguran.
“Kamu datang ke sekolah hari Senin, ibu tunggu jam 8 di sekolah, Jef.” chatku yang ku kirim hari Minggu ternyata hanya menghasilkan centang biru.
“Ini anak bener-bener ya. Lihat saja, sampai hari ini dia nggak dateng, aku nggak akan memberi nilai. Biar aja tinggal kelas.” Gerutuku di kantor guru sambil menggenggam hpku erat karena kesal.
Hari ini sekolah sedang sepi karena memang sejak pandemi, baik guru maupun siswa semua melakukan kegiatan dari rumah. Hanya beberapa kali dalam seminggu, Pak Ipin datang membersihkan sekolah. Itu pun biasanya dilakukan saat sore hari.
Tok tok toook…
“Iya. Masuk aja.” ku lihat sosok Jefri kini sedang berjalan menghampiriku.
“Maaf, Bu. Saya telat.”
“Duduk, Jef.” Aku menatap tajam sosok Jefri yang kini nyalinya nampak ciut.
Aku menghela nafas sejenak. “Kenapa kamu jarang mengerjakan tugas Jef? Bahkan di catatan ibu, semenjak awal kamu tidak pernah mengerjakan tugasmu.”
Jefri hanya diam. “Kalo kamu seperti ini terus, Ibu nggak mau ambil resiko kalo akhirnya kamu harus tinggal kelas. Sudah banyak guru yang mengeluhkan hal yang sama, Jef.”
Ku lihat Jefri kini hanya menunduk sambil mengepalkan tangannya erat-erat yang tersembunyi di balik meja.
“Ibu kasih kamu kesempatan sekali lagi. Hari ini, silahkan kamu kerjakan tugas kamu disini. Ibu tunggu. Ibu kasih waktu sejam, semua tugas harus selesai.” Aku pun menyodorkan beberapa lembar kertas kepada Jefri.
“Tapi, Bu…” Jefri kali ini menatapku tajam, berusaha memprotes.
“Tidak ada tapi-tapian, Jef. Kerjakan atau kamu tidak akan naik kelas!” Aku berdiri meninggalkan Jefri menuju kamar mandi.
“Huft. Anak itu. Susah sekali aturannya.” sepanjang jalan menuju toilet aku hanya menggerutu.
Selesai membereskan kepentinganku, aku pun segera kembali menuju ruang guru. Ku lihat Jefri sedang mengerjakan soal di meja dengan serius. Aku tersenyum, sedikit lega mendapati murid yang paling badung ini akhirnya nurut juga.
“Sudah Jef? Ada yg susah?”
“Eh belum, Bu. Masih beberapa nomor.”
“Hm oke.” jawabku sambil kali ini menegak air minum dalam botol yang ku bawa dari rumah. Karena cuaca yang panas, aku menghabiskan setengah botol air.
“Haus ya, Bu?” Jefri ternyata memperhatikanku sedari tadi.
“Iya nih, Jef. Cuacanya panas.”
“Kalo panas, di lepas aja bajunya, Bu.” celoteh Jefri sambil masih terus menulis.
“Apaan sih, Jef. Gak sopan ya kayak gitu.”
Entah kenapa, setelah minum ku rasakan badanku semakin panas dan gairahku mulai naik. Puting susuku rasanya sangat gatal. Perlahan, tanpa Jefri ketahui, aku mulai menggaruk putingku diam-diam. Ku pencet-pencet toketku dari luar baju.
“Haha. Kalo gatel lepas aja, Bu. Apa mau saya bantu garukin?” Jefri yang tadi konsentrasi mengerjakan kini ternyata memperhatikanku sambil tersenyum menyeringai.
“Jefri, jangan kurang ajar ya.”
“Kurang ajar apa, Bu? Jefri ngga ngapa-ngapain loh. Jefri cuma bilang, kalo Bu Darin ngerasa gatal ya buka aja gak papa. Lagian, mana berani Jefri perkosa ibu.” Jefri kembali menulis tugasnya. Ku perhatikan anak ini sebenarnya ganteng juga. Apalagi dengan badannya yang tinggi dan tegap, pasti enak kalo di genjot sama dia.
“Hush..” aku membuyarkan lamunanku sendiri.
Jefri masih terus mengerjakan beberapa tugas, sementara toketku rasanya semakin gatal saja. Apalagi dibagian putingnya. “Ssshh…” satu tanganku kini sudah berada dalam baju menggosok putingku sendiri. Bukannya makin sembuh, rasa gatal ini semakin menjadi-jadi, ditambah dengan perasaan sange yang mulai muncul. photomemek.com Ku lihat Jefri masih berkonsentrasi mengerjakan. Karena sudah tidak kuat, aku pun membuka beberapa kancing bajuku dan kemudian mengeluarkan toketku. Aku garuk bagian toketku yang gatal kemudian aku pencet-pencet putingnya.
Lama kelamaan, aku merasa semakin nikmat. Mataku terpejam sambil mulutku menahan desahan akibat permainan tanganku. “Ssshh..” Aku kini tidak lagi hanya menggaruk tapi juga meremas toketku sambil sesekali memainkan putingnya.
“Mmmhh..” Aku langsung membuka mata ketika ku rasakan tangan lain kini ikut meremasi toketku. “Aah.. Jangan…” kulihat Jefri sudah ada di belakangku sambil meremasi toketku.
“Jef, jangan.. Ahhh…” Jefri kini mulai memainkan putingku. Di putar-putarnya sehingga menambah kenikmatan tersendiri.
“Udahlah, Bu. Ibu diem aja. Nikmatin aja.” Satu tangan Jefri kini mulai mengelus perutku.
“Mmmhh.. Sshhh… Jangan, Jef.” Tanpa ku duga, mulut Jefri kini menyosor ke toketku. Lidahnya mulai bermain di putingku membuat sensasi geli dan nikmat yang bercampur jadi satu. Ditambah, tangan Jefri yang lain, kini sudah mengelusi memekku dibalik CD pink yang ku kenakan.
“Mmmhh.. Ssshh.. Ohhh… Jangan…” meski mulutku berkata tidak namun tidak bisa aku pungkiri kalau aku juga menikmati permainan Jefri. Aku menekan kepala Jefri yang semakin semangat mengenyoti toketku.
“Ooohh… Ahhhh… Jefff…” desahanku semakin keras ketika jari Jefri tiba-tiba sudah masuk dalam memekku dan mengocoknya dengan cepat.
“Hhmmm… Ooohhh… Sshh…”
“Enak, Bu?” Jefri melepas kulumannya pada toketku. Kocokannya di memekku semakin cepat.
“Hhmmm Sshhh.. Ahhhh… Iya, Jef..”
“Bilang enak dong, Bu.” Jefri semakin semangat mengocok memekku sambil menikmati ekspresi keenakanku.
“Aahhh… Ssshhh… Iyaa.. Enak, Jeff… Teruuus.. Oohhh…” kurasakan memekku kali ini semakin berkedut.
“Aaahhh Jefff.. Geliii… Aaaaaaaaaaahhhhh…” aku berteriak keenakan saat kurasakan memekku menyemburkan cairan kental berwarna putih.
“Gimana? Enak, Bu Darin?” dengan jail, Jefri menyodokkan jarinya lebih dalam ke memekku.
“Aww.. Iya, Jeff..” Aku masih mengatur nafas ketika Jefri memulai kembali permainan fingeringnya di memekku.
“Mmmhhh.. Jeff…” Aku mulai merasakan gairahku kembali naik seiring dengan permainan jari Jefri di memekku. Kali ini jari jempolnya juga memainkan klitorisku, membuatku semakin melayang.
“Ssshhh… Aaaahhh…” aku mulai memejamkan mata sambil mendesah menikmati permainan Jefri.
Lalu, Plop. Jefri menarik jarinya. “Aaahhh…” Aku refleks mendesah kecewa saat ku rasakan memekku kembali merapat.
“Haha. Kenapa, Bu? Mau di mainin lagi ya memeknya? Kalo gitu, ibu buka semua baju ibu, Jefri kasih yang lebih nikmat dari yang tadi.”
Pias! Wajahku memerah mendengar ucapan Jefri. “Sudah, Jef. Ibu mau pulang. Kamu selesaikan tugasmu dirumah.” Rupanya efek jeda tadi membuat pikiran jernihku kembali. Aku kini kembali mengancingkan bajuku. Tapi rupanya, Jefri yang kali ini sudah membuka celananya, menahanku.
“Enak aja mau pulang. Puasin Jefri dulu, Bu.” Tanganku kali ini di genggam erat oleh Jefri hingga kurasakan sakit.
“Aw sakit, Jef. Jangan gini. Ibu mau pulang.” Aku berusaha melepas cengkraman tangan Jefri namun karena kalah tenaga, Jefri kini justru mengunci tanganku ke belakang.
“Ibu jangan macam-macam ya. Saya bawa pisau, kalau ibu macam-macam saya bisa iris itu puting ibu.” Aku bergidik mendengar ancaman Jefri.
Melihatku yang sudah tidak lagi memberontak, Jefri kemudian kembali membuka seluruh kancing bajuku. Di lepasnya baju dan rok spanku sehingga kini, aku hanya mengenakan bh dan cd juga kerudungku.
“Sshhh…” aku kembali mendesis ketika kurasakan kembali remasan tangan Jefri pada toketku.
“Aaahh.. Jefri.. Jangan, Jef…” aku kali ini berusaha menahan kepala Jefri yang hendak kembali menyosor ke toketku. Namun, karena kekuatanku kalah besar, kini kepala Jefri sudah menyosor di toketku. Putingku menjadi bulan-bulanan lidahnya.
“Ssshh.. Ahhh…” perlahan tapi pasti, kurasakan nafsuku kembali naik. Tangan jefri kini sudah kembali memainkan memekku.
“Ooohh… Ahhh… Jeff… Enaaak… Ahhhh…” sekarang, tanpa rasa malu, aku mencoba menikmati semua permainan Jefri.
Jefri semakin semangat mengocok memekku sambil masih mengeyoti toketku. Tidak lama kemudian, ku rasakan memekku kembali berkedut. “Ssshh.. Ahhh.. Enak, Jeff…” Baru saja kurasakan memekku akan menyemburkan cairannya, Jefri menarik tangannya dan menghentikan semua aktifitasnya.
“Aahh..” Aku kembali mendesah kecewa sekali lagi.
“Haha. Balik badan, Bu. Nungging.”
Aku kemudian berbalik posisi dan menungging dengan tangan bertumpu di meja guru.
Ku rasakan Jefri kembali menjilati memekku. “Sshhh.. Ahhh.. Jeff..”
Ditengah kenikmatan yang kurasakan pada memekku, ku rasakan sebuah benda tumpul berusaha merangseng masuk ke dalamnya.
“Aahh.. Jef.. Jangan… Ibu masih perawan.. Ahhh..” kulihat Jefri kini sedang menggesekkan kontolnya di bibir memekku.
“Ooohh…” aku mendesah panjang tiap kali kontol Jefri mengenai klitorisku.
“Aawww… Jefrii.. Sakiiit… Ahhhh… Udah, Jef… Jangan…” Jefri kini mulai memasukkan kontolnya ke dalam memekku.
“Uuuhh.. Memek ibu sempit banget…”
“Aaaah.. Sakiiit Jef… Jangaaan… Aaaaaaaaaaaaaahhhh…” aku berteriak kesakitan ketika Jefri memaksa memasukkan kontolnya dalam memekku.
Jefri lalu mengehentikan gerakannya. “Hiikks.. Jef, pelase, lepasin ibu.” Aku mulai menangis sesenggukan ketika ku sadari, aku tidak lagi seorang perawan hari ini.
Bukannya dilepaskan, Jefri justru menggerakkan pinggulnya sehingga kini kontolnya mulai menggenjot memekku.
“Aawww.. Sakiit.. Periiih.. Ahhh.. Jangan, Jeff…” Aku kembali memohon pada Jefri untuk menghentikan gerakannya.
“Ssshhh… Memekmu sempit banget, Bu… Ooohh…” tangan Jefri kini kembali meremasi toketku sambil sesekali memilin putingnya, membuat nafsuku perlahan kembali.
“Ooohhh… Ahhh.. Lepasin, Jeff.. Ahhh…” Aku mulai menemukan kenikmatan dari genjotan Jefri, meski aku bilang jangan, namun nyatanya aku tidak lagi meronta untuk di lepaskan. Aku justru kini ikut menggoyangkan pantatku.
“Haha. Dasar, Darin lonte. Keenakan kan lu. Sshhh.. Ahhh.. Goyang terussshh..” Jefri semakin mempercepat genjotannya melihatku yang kini mulai liar.
“Mmmhhh… Sshhh… Ahhh.. Jefri… Ahhh…” kurasakan memekku kembali berkedut. Namun lagi-lagi, Jefri dengan pandai mempermainkan nafsuku. Ia mulai menghentikan genjotannya namun kontolnya masih tertancap di memekku.
“Aaahh.. Jef.. Genjot… Ahhh… Lagiii…” dengan jilbab yang sudah tidak karuan, aku menggoyangkan pantatku semakin liar, berusaha menemukan titik-titik kenikmatan.
“Apanya, Bu yang harus di genjot?”
“Aaahhh.. Memek, Ibu, Jefff.. Ahhh.. Genjot memek ibu…”
“Haha. Bagus. Bilang dulu tapi kalo ibu lontenya Jefri…” Jefri mulai menggenjotku kembali.
“Ssshh… Ahhh… Yaaah..”
“Ayo, Bu. Bilaaang…” Jefri kini semakin kencang menggenjotku membuat memekku semakin berkedut.
“Aaaahhhh… Iyaa, Ibu lontemu, Jeefff… Teruuussshhh…”
“Aaahh.. Sshhh… Kalo gitu, Ibu mau kan Jefri entot tiap hari?”
“Ssshhh… Aaaaahhh… Iya, Jef… Entot Ibu tiap hariii… Hhaaahhh… Ooohhh… Ssshhh… Dikit lagiii.. Ahhhh… Yaaaahhh…. Ooooohhh… Ssshhhh…” Aku meracau tidak karuan saat Jefri dengan kasar menggenjot memekku.
“Ohh.. Ibu suka di kasarin gini yaaa…” Jefri semakin mempercepat genjotannya di memekku.
“Sssshhh… Ahhhh… Jeeeefff… Ayooo.. Sshhh… Entot lontemu… Sshhhh…” aku mulai meracau tidak karuan berusaha mencapai kenikmatan.
Jefri terus menggenjot memekku dengan kasar sambil tangannya kembali meremasi toketku.
“Ssshhh… Aaaaaaaahhhh… Jefff…. Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhh…” Aku mendesah panjang diikuti dengan tubuhku yang mengejang dan memek yang menyemprotkan cairan kental putih saat Jefri dengan kasar mencubit putingku.
Badanku lemas dan tersandar di meja kali ini. Sementara Jefri masih saja menggoyangkan kontolnya.
“Ssshhh… Ahhhh.. Bu, gila… Memek lontemu ini enak… Ahhhh… Aku keluaaaaaarrrr…” kurasakan memekku kembali basah oleh semburan sperma Jefri. Beberapa menit Jefri membiarkan kontolnya didalam memekku, menikmati remasan memekku di kontolnya.
Ploop. “Aahh, Bu.. Terima kasih.” Jefri lalu melepaskan kontolnya. Ia lalu mengenakan celananya kembali.
“Ngawur kamu, Jef. Udah gila kamu.” Kataku mengomel sambil memakai kembali pakaianku.
“Hehe. Tapi Bu Darin menikmatinya kan? Tadi malah teriak-teriak keenakan.” Mukaku langsung merah begitu Jefri mengatakan itu. Memang, tadi aku merasa sangat liar. Tidak bisa ku pungkiri, ini pertama kalinya aku ngentot dan aku sangat menikmatinya. Aku lalu berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
“Buu?” Panggil Jefri saat aku sudah didepan pintu ruang guru.
“Ibu mau kan jadi lonteku? Haha.” Aku tidak menjawab dan langsung berlalu ke kamar mandi.
Selesai bersih-bersih, aku membasuh mukaku. Ku lihat bayanganku di kaca kamar mandi.
“Gila. Apa benar aku menikmati permainan muridku? Ah tapi tidak boleh! Ini perbuatan gila. Apalagi aku ini seorang guru. Sadar, Darin, sadar.” Aku menepuk-nepuk pelan pipiku sendiri, mencoba menyadarkan diri. “Tapi tadi itu, benar-benar nikmat. Rasanya, aku ingin kembali mengulang.” Separuh hatiku yang lain tidak menampik jika aku sangat menikmati permainan Jefri.
“Ah, udahlah. Sekarang pulang dulu. Capek banget.” Aku membuyarkan perdebatan diriku sendiri dan kembali menuju ruang guru.
Saat aku masuk, ku lihat semua sudah kembali rapi. Jefri juga sudah tidak ada di tempatnya. Hanya tertinggal kertas tugas yang sudah di selesaikan. Dan secarik kertas bertuliskan, “Jadilah lonteku, Darin, kamu pasti akan menikmati setiap permainannya. Akan ada banyak permainan yang kenikmatannya lebih dari ini. Aku juga akan mengajarkan cara eksib lain yang lebih seru daripada hanya mengangkangkan kakimu didepan rumah tiap malam. Haha. Ohya, Terima kasih perawanmu. —— Jefri.”
Sesaat, aku baru menyadari jika beberapa hari terakhir, ada seorang laki-laki yang dengan sengaja memberhentikan motornya hanya untuk melihat kelakuanku tiap malam.
Aku menarik nafas panjang lalu memasukkan secarik kertas tersebut ke dalam tasku. Menimbang kembali, untuk menerima atau menolak permintaan Jefri.
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,